Translate

Monday, 2 July 2012

Eko Rifky, Ditakdirkan menjadi seorang Evertonian


Profil untuk bulan ini kita ambil Bro Eko, salah satu founder Indo Evertonian dan member dari Evertonian regional Jakarta.

Bro Eko Rifky sudah sangat jarang kita temui di dunia maya karena kesibukannya sebagai Sales Manager di sebuah perusahaan swasta, tapi jangan salah, kalau beliau ada di Jakarta dan ada acara nobar, dia pasti akan ikut serta dan memeriahkan nobar.

Salah satu yang menarik dari beliau adalah hobi beliau untuk membuang rasa jenuh, yakni berperang di medan perang air soft gun, di rumah beliau berbagai macam senjata dan equipment untuk berperang tersimpan rapi dan lengkap.

Diselang kesibukannya ini, kita coba interview beliau, dan dia memberikan suatu paparan yang bagus sekali untuk kita simak. Yuk mari kita simak

-------------------------------------

Hi, nama saya Eko Adham Aditianto Rifky, panjang ya, tapi tenang aja nama panggilan saya simple Eko. Saya lahir di Bandar Lampung 31 Maret 1972 dan saat ini saya tinggal di Ciganjur, Jakarta Selatan.

Sehari-hari saya bekerja sebagai Sales Manager untuk divisi CPV di PT Atlas Copco Indonesia. Area Coverage saya adalah seluruh Indonesia, oleh karena itu jadwal traveling saya lumayan padat jadi kadang-kadang saya gak bisa joint rekan2 Indo Evertonian kalau pas ada kegiatan nonton bareng.

Terus terang sebelum jadi pendukung Everton saya mendukung Manchester United, oleh karena itu waktu ada kesempatan untuk bersekolah di luar negeri saya pilih untuk bersekolah di Inggris dan universitas yang saya daftar untuk pertama kali itu ya University of Manchester Institute of Science and Technology (UMIST). Berdasarkan saran dari counselor di British Council waktu itu saya melamar juga di University of Liverpool sebagai cadangan kalau UMIST tidak menerima saya. Yang terjadi selanjutnya adalah hal yang menurut saya bagian dari takdir hidup saya. Kedua universitas itu menerima saya, tetapi University of Liverpool menawarkan beasiswa sedangkan UMIST tidak, berdasarkan pertimbangan tersebut saya akhirnya mengambil University of Liverpool dan mengabaikan mimpi untuk bisa nonton Manchester United tiap minggu.

Ceritanya terus berlanjut ketika saya akhirnya sampai di Liverpool. Karena saya dari dulu memang suka sekali dengan sepakbola (saya sempat main buat Indonesia Muda di kompetisi Persija, malah adik saya sempat main buat tim junior Persija dan ayah saya main buat PSSI junior dan Persija), karena itu begitu urusan sekolah selesai saya langsung mendaftar buat main bagi fakultas saya di liga sepakbola universitas. Tidak cukup hanya main, mumpung sedang berada di negeri sepakbola saya mulai mencari tahu gimana caranya supaya bisa nonton liga Inggris secara langsung. Karena kebetulan ada teman sekolah saya sesama orang Indonesia yang sebelumnya sempat kuliah di Manchester, saya ikut dia nonton Manchester United di Old Trafford. Waktu itu Man Utd melawan Everton dan itulah pertama kali saya berkenalan dengan Everton FC dan terus terang saya agak terpesona dengan semangat pantang menyerah mereka. Waktu itu (season 1998/99) Everton masih diperkuat Big Dunc, Matterazi, Dacourt, Weir, Myhre dan lain-lain.
Karena biaya untuk pergi ke Manchester dan tiket nonton Man Utd yang lumayan tinggi jadi tidak mungkin saya nonton mereka tiap minggu, ditambah lagi jadi pendukung Man Utd dan tinggal di Liverpool agak-agak berbahaya karena hampir semua Scouser (penduduk asli Liverpool) benci sekali dengan United. Disebabkan hal-hal tersebut saya mulai coba-coba untuk cari club baru untuk didukung dan kalau kamu tinggal di Liverpool maka pilihannya hanya tiga club kebanggaan Merseyside yaitu Liverpool, Everton atau Tranmere Rovers.

Awalnya saya coba mendukung Liverpool karena diantara ketiganya Liverpool adalah yang paling terkenal tetapi entah kenapa saya tidak suka menonton mereka karena mainnya tidak kompak dan semangatnya ketika main tidak seperti yang diperagakan Everton ditambah saya tidak suka lihat gaya main Paul Ince yang saat itu baru saja bergabung dengan mereka dari Inter Milan. Tetapi yang menjadi gong yang membuat saya akhirnya memutuskan mendukung Everton adalah kebetulan teman-teman saya di club sepakbola fakultas adalah pendukung Everton dan bukan Liverpool, begitu juga flatmate saya yang Scouser. Dari mereka ini saya dapat trik untuk menonton murah yaitu dengan membeli tiket untuk Youngster yang harganya jauh lebih murah dibandingkan tiket regular. Hal ini hanya bisa dilakukan kalau kita menonton Everton karena tidak pernah diperiksa ketika kita masuk Stadion, sedangkan kalau Liverpool pemeriksaannya agak ketat, mungkin karena tiket regular mereka lumayan mahal.

Hampir tiap minggu menonton mereka lama kelamaan saya mulai mencintai club ini dan mulai berusaha mempelajari sejarah club dan segala hal yang berkaitan dengan the Toffees. Saya menjadi hapal di luar kepala tentang sejarah club yang mulai dari St Domingo FC, menara yang jadi lambang club, kenapa mereka pergi dari Anfield dan main di Goodison sampai  pemain-pemain terkenal yang pernah memperkuat club ini seperti Gary Lineker, Andrei Kanchelkis dan lain-lain.

Season 1998/1999 buat Everton merupakan Degradation Dogfight dimana the Toffees terancam untuk turun ke divisi championship sekiranya mereka gagal musim ini dan itu berarti untuk pertama kalinya setelah seratus tahun lebih kita terdegradasi. Saya ingat sekali pada pertandingan yang menentukan melawan Charlton Athletic kita bermain bagai kesetanan dan ketika akhirnya kita mengalahkan mereka seisi stadion bagaikan meledak, orang-orang berpelukan dan bergembira bersama bahkan ada beberapa yang menangis gembira. Sungguh perasaan yang tidak terlupakan buat saya dan semenjak itulah saya merasa bahwa inilah club yang harus saya dukung karena inilah “the people club” yang maju bukan karena kekayaan yang berlimpah ataupun bintang yang bertaburan. Club ini terus maju karena pendukungnya yang mencintainya sepenuh hati dan seluruh staf-nya yang berkomitmen untuk memajukan club dengan segala keterbatasannya.

Semenjak itu saya tidak pernah lagi masuk dengan membeli Youngster ticket tapi membayar full bahkan ikutan nonton reserve games dimana Jeffers, Cadamarteri dan Osman memperkuat team reserve dan youngster Everton. Semua itu saya lakukan karena sadar bahwa biar bagaimanapun semua harus berperan agar club kita dapat terus maju. Bahkan pada season 1999/2000 saya menjadi pemegang season ticket (walaupun harus mengorbankan rencana jalan-jalan keliling Eropa Timur karena uangnya sudah terpakai).

Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 2001 (sampai saat ini tentunya, walaupun tidak bisa seintens dahulu karena alasan keluarga dan pekerjaan) saya tetap berusaha mengikuti perjalanan club kita ini melalui berbagai media karena terus terang saya melihat bahwa semangat pantang menyerah Everton masih tidak berubah.

Kita boleh jatuh hari ini, tetapi besok kita akan bangkit lagi, tidak ada cerita bahwa kita akan terus terpuruk dihempas gelombang karena kita tahu bahwa itulah hidup, Nil Satis Nisi Optimum, tidak ada tempat didunia ini untuk “second best”. Kita memang belum menjadi “the best” tapi mental juara harus tetap bersemayam di hati kita.

Setelah cukup lama kembali ke Indonesia, terus terang agak sulit bagi saya untuk mencari sesama pendukung Everton, karena rata-rata fans premier league tema disini mendukung club-club besar yang bergelimang kejayaan (Glory Hunter kali ya istilahnya), sampai tahun 2005 atau 2006 ya kalau tidak salah, saya berkenalan dengan Pras lewat Friendster.

Komunikasi kita berdua terus berjalan walaupun hanya lewat internet. Karena satu dan lain hal, akhirnya baru tahun 2008 kita berdua bisa nonton bareng dan itulah saat pertama saya berkenalan dengan Ersya. Setelah itu beberapa kali kita “berhasil” nonton bareng dan pesertanya makin lama makin berkembang dari satu nonton bareng ke nonton bareng lainnya.

Ketika rekan-rekan peserta nonbar ini makin berkembang, dimotori oleh Pras dan Ersya timbulah wacana untuk mendirikan Indo Evertonian yang langsung mendapat sambutan hangat dari rekan-rekan lain hingga akhirnya berdirilah fans club kita ini. Satu hal yang membanggakan saya dari Indo Evertonian kita ini adalah sepertinya semangat Everton yang pantang menyerah maju terus dengan segala keterbatasannya sudah tertanam di jiwa kita masing-masing hingga kita bisa exist sampai saat ini.

Satu hal yang selalu saya ucapkan untuk menghibur diri ketika team kita sedang mengalami kekalahan adalah, “untung gue biasa ngedukung PSSI, jadi kalo kalah mah bisaa aja tapi kalau menang, ekstasenya itu loh luar bisaa”. Terus terang kata-kata penyemangat itu adalah jawaban standar saya ketika diejek oleh teman-teman pendukung club lain ketika masih tinggal di Liverpool dahulu.

Sejujurnya, kesal, marah, benci dan perasaan kapok mendukung club “mediocre” (menurut mereka tentunya bukan kita) saat gagal pastinya ada tetapi apapun yang terjadi kita tetap harus maju, yang lewat biarlah lewat yang penting jangan terpuruk dan tetap bangkit. Orang boleh bilang “it’s just a game”, tapi menurut saya ini adalah cerminan semangat hidup kita…Nil Satis Nisi Optimum (There is no Second Best)…jadi walaupun pada saat ini kita belum beruntung untuk menjadi the Best tetapi janganlah jadi pecundang…teruslah pertahankan jiwa JUARA kita…..Evertooon…Evertooon…Evertoooooonnnnnnn!!!!!   


@anatama
     

8 comments:

  1. Very inspiring, boss.. mantap

    ReplyDelete
  2. Nice writting...
    Antara terharu dan mupeng....

    ReplyDelete
  3. Mas Eko mantap...bibirnya :D

    ReplyDelete
  4. mantab ,salam hangat ya dari pendukung tim sebelah ,YNWA

    ReplyDelete
  5. baru baca
    ini toh mas Eko yg ada di contact BBM saya
    keren euy story nya
    #COYB

    ReplyDelete