Profil untuk bulan ini kita ambil Bro Eko, salah satu founder Indo Evertonian dan member dari Evertonian regional Jakarta.
Bro Eko Rifky sudah sangat jarang kita temui di dunia maya
karena kesibukannya sebagai Sales Manager di sebuah perusahaan swasta, tapi
jangan salah, kalau beliau ada di Jakarta dan ada acara nobar, dia pasti akan
ikut serta dan memeriahkan nobar.
Salah satu yang menarik dari beliau adalah hobi beliau untuk
membuang rasa jenuh, yakni berperang di medan perang air soft gun, di rumah
beliau berbagai macam senjata dan equipment untuk berperang tersimpan rapi dan
lengkap.
Diselang kesibukannya ini, kita coba interview beliau, dan
dia memberikan suatu paparan yang bagus sekali untuk kita simak. Yuk mari kita
simak
-------------------------------------
Hi, nama saya Eko Adham Aditianto Rifky, panjang ya, tapi
tenang aja nama panggilan saya simple Eko. Saya lahir di Bandar Lampung 31
Maret 1972 dan saat ini saya tinggal di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Sehari-hari saya bekerja sebagai
Sales Manager untuk divisi CPV di PT Atlas Copco Indonesia . Area Coverage saya
adalah seluruh Indonesia ,
oleh karena itu jadwal traveling saya lumayan padat jadi kadang-kadang saya gak
bisa joint rekan2 Indo Evertonian kalau pas ada kegiatan nonton bareng.
Terus terang sebelum jadi
pendukung Everton saya mendukung Manchester United, oleh karena itu waktu ada
kesempatan untuk bersekolah di luar negeri saya pilih untuk bersekolah di
Inggris dan universitas yang saya daftar untuk pertama kali itu ya University
of Manchester Institute of Science and Technology (UMIST). Berdasarkan saran
dari counselor di British Council waktu itu saya melamar juga di University of Liverpool sebagai cadangan kalau UMIST
tidak menerima saya. Yang terjadi selanjutnya adalah hal yang menurut saya
bagian dari takdir hidup saya. Kedua universitas itu menerima saya, tetapi
University of Liverpool menawarkan beasiswa sedangkan UMIST tidak, berdasarkan
pertimbangan tersebut saya akhirnya mengambil University of Liverpool dan
mengabaikan mimpi untuk bisa nonton Manchester United tiap minggu.
Ceritanya terus berlanjut ketika
saya akhirnya sampai di Liverpool . Karena saya
dari dulu memang suka sekali dengan sepakbola (saya sempat main buat Indonesia
Muda di kompetisi Persija, malah adik saya sempat main buat tim junior Persija
dan ayah saya main buat PSSI junior dan Persija), karena itu begitu urusan
sekolah selesai saya langsung mendaftar buat main bagi fakultas saya di liga
sepakbola universitas. Tidak cukup hanya main, mumpung sedang berada di negeri
sepakbola saya mulai mencari tahu gimana caranya supaya bisa nonton liga
Inggris secara langsung. Karena kebetulan ada teman sekolah saya sesama orang Indonesia yang sebelumnya sempat kuliah di Manchester , saya ikut dia
nonton Manchester United di Old Trafford. Waktu itu Man Utd melawan Everton dan
itulah pertama kali saya berkenalan dengan Everton FC dan terus terang saya
agak terpesona dengan semangat pantang menyerah mereka. Waktu itu (season
1998/99) Everton masih diperkuat Big Dunc, Matterazi, Dacourt, Weir, Myhre dan
lain-lain.
Karena biaya untuk pergi ke
Manchester dan tiket nonton Man Utd yang lumayan tinggi jadi tidak mungkin saya
nonton mereka tiap minggu, ditambah lagi jadi pendukung Man Utd dan tinggal di
Liverpool agak-agak berbahaya karena hampir semua Scouser (penduduk asli
Liverpool) benci sekali dengan United. Disebabkan hal-hal tersebut saya mulai
coba-coba untuk cari club baru untuk didukung dan kalau kamu tinggal di
Liverpool maka pilihannya hanya tiga club kebanggaan Merseyside yaitu Liverpool , Everton atau Tranmere Rovers.
Awalnya saya coba mendukung
Liverpool karena diantara ketiganya Liverpool adalah yang paling terkenal
tetapi entah kenapa saya tidak suka menonton mereka karena mainnya tidak kompak
dan semangatnya ketika main tidak seperti yang diperagakan Everton ditambah
saya tidak suka lihat gaya main Paul Ince yang saat itu baru saja bergabung
dengan mereka dari Inter Milan. Tetapi yang menjadi gong yang membuat saya
akhirnya memutuskan mendukung Everton adalah kebetulan teman-teman saya di club
sepakbola fakultas adalah pendukung Everton dan bukan Liverpool ,
begitu juga flatmate saya yang Scouser. Dari mereka ini saya dapat trik untuk
menonton murah yaitu dengan membeli tiket untuk Youngster yang harganya jauh
lebih murah dibandingkan tiket regular. Hal ini hanya bisa dilakukan kalau kita
menonton Everton karena tidak pernah diperiksa ketika kita masuk Stadion,
sedangkan kalau Liverpool pemeriksaannya agak
ketat, mungkin karena tiket regular mereka lumayan mahal.
Hampir tiap minggu menonton
mereka lama kelamaan saya mulai mencintai club ini dan mulai berusaha
mempelajari sejarah club dan segala hal yang berkaitan dengan the Toffees. Saya
menjadi hapal di luar kepala tentang sejarah club yang mulai dari St Domingo
FC, menara yang jadi lambang club, kenapa mereka pergi dari Anfield dan main di
Goodison sampai pemain-pemain terkenal
yang pernah memperkuat club ini seperti Gary Lineker, Andrei Kanchelkis dan lain-lain.
Season 1998/1999 buat Everton
merupakan Degradation Dogfight dimana the Toffees terancam untuk turun ke
divisi championship sekiranya mereka gagal musim ini dan itu berarti untuk
pertama kalinya setelah seratus tahun lebih kita terdegradasi. Saya ingat
sekali pada pertandingan yang menentukan melawan Charlton Athletic kita bermain
bagai kesetanan dan ketika akhirnya kita mengalahkan mereka seisi stadion
bagaikan meledak, orang-orang berpelukan dan bergembira bersama bahkan ada
beberapa yang menangis gembira. Sungguh perasaan yang tidak terlupakan buat
saya dan semenjak itulah saya merasa bahwa inilah club yang harus saya dukung
karena inilah “the people club” yang maju bukan karena kekayaan yang berlimpah
ataupun bintang yang bertaburan. Club ini terus maju karena pendukungnya yang
mencintainya sepenuh hati dan seluruh staf-nya yang berkomitmen untuk memajukan
club dengan segala keterbatasannya.
Semenjak itu saya tidak pernah
lagi masuk dengan membeli Youngster ticket tapi membayar full bahkan ikutan
nonton reserve games dimana Jeffers, Cadamarteri dan Osman memperkuat team
reserve dan youngster Everton. Semua itu saya lakukan karena sadar bahwa biar
bagaimanapun semua harus berperan agar club kita dapat terus maju. Bahkan pada
season 1999/2000 saya menjadi pemegang season ticket (walaupun harus
mengorbankan rencana jalan-jalan keliling Eropa Timur karena uangnya sudah
terpakai).
Sekembalinya ke Indonesia pada
tahun 2001 (sampai saat ini tentunya, walaupun tidak bisa seintens dahulu
karena alasan keluarga dan pekerjaan) saya tetap berusaha mengikuti perjalanan
club kita ini melalui berbagai media karena terus terang saya melihat bahwa
semangat pantang menyerah Everton masih tidak berubah.
Kita boleh jatuh hari ini, tetapi
besok kita akan bangkit lagi, tidak ada cerita bahwa kita akan terus terpuruk
dihempas gelombang karena kita tahu bahwa itulah hidup, Nil Satis Nisi Optimum,
tidak ada tempat didunia ini untuk “second best”. Kita memang belum menjadi
“the best” tapi mental juara harus tetap bersemayam di hati kita.
Setelah cukup lama kembali ke
Indonesia, terus terang agak sulit bagi saya untuk mencari sesama pendukung
Everton, karena rata-rata fans premier league tema disini mendukung club-club
besar yang bergelimang kejayaan (Glory Hunter kali ya istilahnya), sampai tahun
2005 atau 2006 ya kalau tidak salah, saya berkenalan dengan Pras lewat Friendster.
Komunikasi kita berdua terus
berjalan walaupun hanya lewat internet. Karena satu dan lain hal, akhirnya baru
tahun 2008 kita berdua bisa nonton bareng dan itulah saat pertama saya
berkenalan dengan Ersya. Setelah itu beberapa kali kita “berhasil” nonton
bareng dan pesertanya makin lama makin berkembang dari satu nonton bareng ke
nonton bareng lainnya.
Ketika rekan-rekan peserta nonbar
ini makin berkembang, dimotori oleh Pras dan Ersya timbulah wacana untuk
mendirikan Indo Evertonian yang langsung mendapat sambutan hangat dari
rekan-rekan lain hingga akhirnya berdirilah fans club kita ini. Satu hal yang
membanggakan saya dari Indo Evertonian kita ini adalah sepertinya semangat
Everton yang pantang menyerah maju terus dengan segala keterbatasannya sudah
tertanam di jiwa kita masing-masing hingga kita bisa exist sampai saat ini.
Satu hal yang selalu saya ucapkan
untuk menghibur diri ketika team kita sedang mengalami kekalahan adalah,
“untung gue biasa ngedukung PSSI, jadi kalo kalah mah bisaa aja tapi kalau
menang, ekstasenya itu loh luar bisaa”. Terus terang kata-kata penyemangat itu
adalah jawaban standar saya ketika diejek oleh teman-teman pendukung club lain
ketika masih tinggal di Liverpool dahulu.
Sejujurnya, kesal, marah, benci
dan perasaan kapok mendukung club “mediocre” (menurut mereka tentunya bukan
kita) saat gagal pastinya ada tetapi apapun yang terjadi kita tetap harus maju,
yang lewat biarlah lewat yang penting jangan terpuruk dan tetap bangkit. Orang
boleh bilang “it’s just a game”, tapi menurut saya ini adalah cerminan semangat
hidup kita…Nil Satis Nisi Optimum (There is no Second Best)…jadi walaupun pada
saat ini kita belum beruntung untuk menjadi the Best tetapi janganlah jadi pecundang…teruslah
pertahankan jiwa JUARA kita…..Evertooon…Evertooon…Evertoooooonnnnnnn!!!!!
@anatama
Very inspiring, boss.. mantap
ReplyDeletemantap om eko.
ReplyDeleteTop Story
ReplyDeleteNice writting...
ReplyDeleteAntara terharu dan mupeng....
Aw, that's my brother
ReplyDeleteMas Eko mantap...bibirnya :D
ReplyDeletemantab ,salam hangat ya dari pendukung tim sebelah ,YNWA
ReplyDeletebaru baca
ReplyDeleteini toh mas Eko yg ada di contact BBM saya
keren euy story nya
#COYB